KABAR-MU.COM – Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka, menegaskan bahwa sastra adalah medium efektif untuk menyampaikan pesan keislaman. Melalui seri karya fiksi dan artikel, ia berhasil memikat pembaca dengan narasi yang memadukan nilai religius dan kritik sosial, sekaligus memperkenalkan ajaran Islam secara humanis.
Lahir di Agam, Sumatra Barat, pada 17 Februari 1908, Buya Hamka tumbuh dalam keluarga yang mengharmonikan tradisi keagamaan dan kecintaan pada seni. Ayahnya, Haji Rasul, adalah ulama terkemuka, sedangkan ibunya berasal dari latar seniman. Lingkungan inilah yang membentuk karakter Hamka: religius namun terbuka pada perkembangan budaya sastra.
Pada usia remaja, Hamka merantau ke Yogyakarta untuk memperdalam ilmu di bawah asuhan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah dan sastrawan. Ia kemudian menimba ilmu di Pekalongan bersama AR Sutan Mansur. Pengalaman belajar intensif ini menancapkan tekadnya untuk menggabungkan retorika Islam dengan seni bertutur.
Penguasaan bahasa Arab membuka cakrawala sastra Timur Tengah baginya. Karya Jurji Zaidan dan Mustafa Al-Manfaluti menjadi rujukan utama, disusul karya-karya Barat terjemahan seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Perpaduan wacana ini menciptakan gaya prosa yang kuat, mempersatukan rasionalitas dan spiritualitas dalam bingkai estetika.
Dalam pengabdiannya di Medan, Buya Hamka memimpin majalah Pedoman Masyarakat sejak 1936. Di sana ia menulis novel berseri dan kumpulan cerpen yang menyoroti praktik adat Minangkabau—terutama yang bertentangan dengan prinsip Islam. Novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” menjadi tonggak utama, menampilkan romantika terhalang adat sekaligus memancarkan ajaran iman.
Akademisi dan seniman menilai Hamka menguasai balaghah, seni retorika yang menekankan kesatuan, kejelasan, dan kompleksitas bahasa. Struktur kalimatnya teratur dan metaforanya tepat, sehingga pesan dakwah terserap lembut oleh pembaca, tanpa terkesan menggurui.
Warisan Buya Hamka diabadikan melalui berbagai penghargaan akademik dan institusional, termasuk gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo serta gelar kesusastraan di Universitas Nasional Malaysia. Namanya juga diabadikan sebagai nama universitas Muhammadiyah di Kupang, menegaskan kontribusinya pada khazanah intelektual dan keagamaan.
Metode kreatif Hamka membuktikan bahwa sastra bisa jadi jembatan dialog antara ajaran suci dan dinamika sosial. Hingga kini, penggiat dakwah dan penulis kontemporer meneladani karya-karyanya untuk merangkum nilai-nilai spiritual dalam bahasa yang tetap memikat dan relevan.
Posting Komentar untuk "Sosok Buya Hamka Rajut Dakwah Melalui Sastra"